DI TENGAH kepedihan dan duka karena bencana di Sumatera, juga beberapa daerah lain, ada bencana yang tak kalah mendatangkan luka. Tidak lain bencana yang menimpa keyakinan (akidah) umat Islam. Salah satunya melalui wacana Perayaan Natal Bersama, antara umat Islam dan umat Kristiani, yang diklaim sebagai bentuk toleransi beragama. Jika benar wacana ini—yang bahkan digagas dan diinisiasi oleh Kementerian Agama RI pada Bulan Desember 2025 ini—maka jelas hal itu telah melanggar batas-batas toleransi beragama dalam Islam.
Apalagi konsep toleransi beragama yang banyak dipromosikan hari ini memang bukan berasal dari Islam, melainkan berasal dari sejarah traumatik Eropa Kristen, yang kemudian dikenal sebagai Toleransi Liberal. Konsep toleransi ini lahir dari pengalaman pahit konflik dan perang agama (Kristen) di Barat. Karena itu jelas konsep toleransi mereka tidak cocok diterapkan kepada umat Islam yang memiliki akidah dan syariah sendiri.
*Apa Itu Toleransi?*
Dalam pandangan Islam, toleransi berarti membiarkan pemeluk agama lain menjalankan keyakinannya. Dasarnya, antara lain, firman Allah SWT:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untuk kalian agama kalian dan untuk kami agama kami (TQS al-Kafirun [109]: 6).
Toleransi dalam Islam juga bermakna bahwa non-Muslim tidak dipaksa untuk masuk Islam. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama Islam (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Toleransi Islam bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama, antara Islam dan agama lain, sebagaimana dalam Toleransi Liberal. Apalagi ikut membenarkan keyakinan yang salah, bahkan ikut terlibat dalam perayaan agama mereka. Hal ini termasuk haram karena mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil. Allah SWT tegas menyatakan:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
Janganlah kalian mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil (TQS al-Baqarah [2]: 42)
*Asal-Usul Toleransi Liberal*
Toleransi Liberal lahir di Eropa akibat perang agama antara Katolik dan Protestan, terutama pada abad ke-16 dan 17 M. Konflik ini menewaskan puluhan ribu orang, seperti dalam Perang 30 Tahun dan Pembantaian Santo Bartolomeus, di Prancis.
Untuk mengakhiri konflik berdarah itu, Eropa melahirkan gagasan: (1) agama harus dipisahkan dari kehidupan (sekularisme); (2) kebenaran agama dianggap relatif; (3) semua agama harus diperlakukan sama secara sosial-politik.
Dari sinilah muncul konsep toleransi versi Barat, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman sejarah mereka yang Kristen.
Karena itu, menurut Prof. Muhammad Ahmad Mufti, Toleransi Liberal berdiri di atas tiga gagasan utama: Pertama, Sekularisme. Intinya: Agama dipisahkan dari kehidupan dan negara. Kedua, Relativisme. Intinya: Semua agama dianggap sama-sama relatif kebenarannya. Ketiga, Pluralisme. Intinya: Semua agama diposisikan setara, tanpa klaim kebenaran.
Konsep ini mungkin dianggap wajar di Eropa, tetapi bertentangan secara mendasar dengan Islam.
*Toleransi Islam*
Islam memiliki konsep toleransi sendiri yang jelas, tegas dan berkeadilan yang berlandaskan akidah tauhid.
Pertama: Dari Sisi Aqidah. Islam tidak mengenal pemisahan agama dari kehidupan. Seluruh aspek hidup diatur oleh syariah. Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ
Kami turunkan al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu (TQS an-Nahl [16]: 89).
Allah SWT juga berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً
Masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Kedua: Dari Sisi Kebenaran Agama. Islam menetapkan bahwa hanya Islam yang benar, sementara agama lain salah. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali ‘Imran [3]: 19).
Karena itulah, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima (TQS Ali ‘Imran [3]: 85).
Allah SWT pun berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) dan kaum musyrik, berada di dalam Neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk (TQS al-Bayyinah [98]: 6).
Rasulullah saw. juga bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ، وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالََّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat ini, baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani, kemudian dia mati dalam kondisi tidak mengimani risalah (Islam) yang aku bawa, niscaya dia pasti termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
*Batas-batas Toleransi Beragama*
Islam jelas mengajarkan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Akan tetapi, Toleransi Islam dibatasi oleh aturan-aturan Islam. Ia berbeda dengan Toleransi Liberal. Contohnya, antara lain:
Pertama, pernikahan beda agama. Allah SWT tegas menyatakan:
لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Wanita Mukmin tidak halal bagi laki-laki kafir dan sebaliknya (TQS al-Mumtahanah [60]: 10).
Artinya, Islam telah mengharamkan pernikahan beda agama sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Kedua, salam antar agama. Nabi saw. tetap mengucapkan salam Islam kepada orang-orang di majelis yang bercampur antara Muslim dan non-Muslim. Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ra.:
أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى مَجْلِسٍ فِيه أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةَ الأَوْثَانِ والْيَهودِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesungguhnya Nabi saw. pernah melintasi suatu majelis yang di dalamnya ada campuran kaum Muslim dengan kaum musyrik para penyembah berhala dan kaum Yahudi. Lalu Nabi saw. mengucapkan salam kepada mereka (HR al-Bukhari).
Karena itu mengucapkan salam versi berbagai agama—tidak hanya versi Islam—dalam majelis yang campur-baur tidak dibenarkan. Cukup ucapkan salam versi Islam saja.
Ketiga, murtad. Islam tidak mentoleransi seorang Muslim murtad (keluar dari Islam). Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya (Islam), lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 217).
Bahkan Islam memandang murtad sebagai dosa besar dan kejahatan serius yang pelakunya layak dihukum mati. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR Bukhari).
Keempat, Perayaan Natal Bersama. Islam mengharamkan seorang Muslim ikut serta dalam hari raya agama lain. Dalil keharamannya adalah firman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ
(Di antara ciri-ciri ‘Ibâdur‐Rahmân) adalah orang-orang yang tidak menyaksikan kebohongan (az-zûr) (QS al-Furqan [25]: 72).
Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, kebohongan (az-zûr) itu maksudnya adalah hari-hari raya kaum musyrik (kafir) (Lihat: Al-Qurthubi, Tafsîr Al-Qurthubi, 7/54).
Dalil keharaman lainnya, karena perbuatan itu merupakan tasyabbuh bi al-kuffâr (menyerupai kaum kafir) yang telah diharamkan dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ
Siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) suatu kaum maka dia termasuk ke dalam golongan mereka (HR Abu Dawud).
Kelima, Menolak Konsep Negara Islam (Khilafah). Menurut konsep Toleransi Liberal: Negara agama—termasuk Negara Islam (Khilafah)—itu sangatlah buruk dampaknya bagi masyarakat. Di Barat banyak orang mati akibat kekuasaan disatukan dengan agama (dalam kasus pembantaian Santo Bartolomeus tahun 1572 di Prancis).
Adapun menurut konsep Toleransi Islam: Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam adalah bagian dari ajaran Islam. Khilafah wajib hukumnya. Dasarnya, antara lain, sabda Rasulullah saw.:
وَمَن مَاتَ وَليسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati, sedangkan tidak ada di lehernya baiat (kepada Khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah (HR Muslim).
Apalagi penerapan Islam secara kâffah (menyeluruh) mustahil tanpa institusi Khilafah. Karena itu menolak Khilafah adalah sikap tertolak dalam Islam.
Lagi pula hanya dalam sistem Khilafahlah—sebagaimana telah terbukti selama berabad-abad lamanya—toleransi yang sejati antar para pemeluk agama (Muslim dan non-Muslim) bisa diwujudkan.
*Kesimpulan*
Pertama: Konsep toleransi yang banyak dipromosikan hari ini adalah Toleransi Liberal Barat, bukan Toleransi Islam. Toleransi Liberal berdiri di atas sekularisme, relativisme dan pluralisme. Sebaliknya, Toleransi Islam berbeda dengan Toleransi Liberal secara mendasar, baik dari akidah, pandangan kebenaran, maupun aturan sosial.
Kedua: Mengikuti Toleransi Liberal adalah bentuk penyimpangan yang telah diperingatkan Nabi saw. Karena itu Perayaan Natal Bersama, antara Muslim dan Nasrani, bukan toleransi islami. Ia adalah praktik toleransi liberal yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
WalLâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
---*---
*Hikmah:*
Rasulullah saw. bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، قَالَ: فَمَنْ؟!
“Sungguh kalian (umat Islam) akan benar-benar mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Bahkan kalau pun mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalian pasti akan tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Lalu siapa lagi (kalau bukan mereka)?!” (HR al-Bukhari dan Muslim). []
---*---
*UPDATE GAZA 15 Desember 2025 Kaffah*
*Gaza Belum Usai. Luka Itu Masih Berdarah.*
Ketika dunia mulai lelah membicarakan Gaza, di sana nyawa masih jatuh setiap hari.
Dalam 24 jam terakhir saja, 9 warga Palestina syahid dan 45 lainnya terluka. Sebagian jenazah bahkan baru ditemukan—mereka sebelumnya terkubur reruntuhan, hilang tanpa kabar, lalu kembali sebagai angka dalam statistik kematian.
Ini terjadi bukan di tengah perang terbuka, melainkan dalam fase yang disebut “gencatan senjata”. Sejak 11 Oktober 2025, 391 orang syahid, lebih dari 1.000 luka-luka, dan ratusan jenazah masih tertimbun atau tak ditemukan. Gaza memasuki fase baru: kekerasan rendah, tetapi kematian yang konsisten.
Sejak agresi dimulai pada 7 Oktober 2023, 70.663 nyawa telah hilang. Bukan sekadar angka—mereka adalah anak-anak, ibu, ayah, dan generasi masa depan Gaza. Luka sosial dan demografis ini akan membekas puluhan tahun ke depan.
Di saat yang sama, sistem kesehatan Gaza sekarat.
Lebih dari 5.200 anak membutuhkan evakuasi medis segera. Lebih dari separuh obat esensial habis, obat kanker nyaris tak tersedia, dan tujuh dari sepuluh alat medis tidak lagi berfungsi. Separuh rumah sakit hanya beroperasi setengah daya. Dokter dipaksa memilih: siapa yang diselamatkan, siapa yang dibiarkan menunggu maut.
Serangan militer belum berhenti. Udara Gaza dan Khan Younis masih dibelah bom. Tepi Barat pun bergolak—penggerebekan, penahanan, dan kematian remaja terus terjadi. Kekerasan bergerak paralel, menandakan bahwa ini bukan konflik lokal sesaat, melainkan krisis yang disengaja dan berlapis.
Di balik semua itu, dukungan internasional—terutama dari Amerika Serikat—terhadap zionis Yahudi tetap mengalir. Pertukaran intelijen, pengoperasian drone, dan penentuan target berlangsung real time. Gaza bukan sekadar medan perang regional, tetapi bagian dari konflik global yang timpang.
Kini, musim dingin datang membawa musuh baru: dingin, banjir, dan kelaparan. 1,4 juta pengungsi hidup tanpa hunian layak. Ribuan tenda hancur diterjang badai. Anak-anak dan bayi meninggal karena hipotermia. Banyak keluarga tidak pernah menerima bantuan makanan sama sekali. Inilah “normal baru” Gaza: lapar, sakit, dingin, dan terusir.
*Gaza belum selesai.*
Yang berakhir hanyalah perhatian dunia. Jika hari ini kita diam, maka kematian esok hari menjadi wajar. Jika kita berpaling, penderitaan itu menjadi tak terlihat. Dan jika kita lupa, sejarah akan mencatat bahwa tragedi ini terjadi di hadapan dunia yang memilih menutup mata. Sementara Rosulullah saw mengingatkan kita bahwa umat Islam adalah tubuh yang satu. Ajaran Islam juga memerintahkan kita jihad fi sabilillah untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang dijajah. Gaza masih ada. Dan Gaza masih membutuhkan suara kita. Seruan keimanan untuk membebaskan Gaza dengan mengirim tentara dan menyatukan umat Islam di bawah naungan Khilafah al Manhajinnubuwwah.

